Oleh: Gusti Ramli

Kabupaten Halmahera Barat merupakan salah satu dari 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Kabupaten Maluku Utara. Kala itu Kabupaten Maluku Utara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku yang kemudian menjadi Kabupaten induk pada saat proses pemekaran Provinsi Maluku Utara.

Kabupaten Maluku Utara tersebut kemudian mengalami perubahan nama dan letak wilayahnya menjadi kabupaten Halmahera Barat dengan Ibu Kota berkedudukan di Jailolo, berdasarkan Undang-undang nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku utara.

Sejarah mengatakan, pada tahun 1914 terjadi pemberontakan besar antara tentara Belanda dan Rakyat Jailolo dibawah komando Kapita Banau. Sebelumnya, pada tanggal 12 September tahun 1914, pasukan pribumi dibawah komando Kapita Banau melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda.

Peperangan ini bermula atas dasar kerja paksa dan diberlakukannya pembayaran upeti (pajak) yang besar oleh Belanda terhadap pribumi (Jailolo), hal ini membuat Banau dan kawan-kawan tidak menerima ketertindasan yang dilakukan, sehingga terjadilah peperangan yang tak bisa dibendung di tanah Jiko Makolano.

Ketertindasan yang terjadi tahun 1914 kian berkepanjangan hingga hari ini, akan tetapi kali ini yang menindas rakyat bukan lagi Belanda melainkan Pemerintah Halmahera Barat sendiri. Hal ini dibuktikan dengan rentetan problematika yang hadir, salah satu bentuk penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Rakyat adalah hutang daerah yang tak kunjung menurun mulai awal Pemerintahan JUJUR hingga hampir akhir periodisasi.

Program prioritas yang dikampanyekan pada momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh kandidat berjulukan JUJUR kemarin 2020 hanyalah kekonyolan dan omong kosong belaka. Sebab isi dalam visi misi kandidat tersebut tidak terealisasi dengan baik hingga hari ini, bahkan diakhir periodesasi Pemerintahan JUJUR akan meninggalkan luka mendalam pada aspek Ekonomi dan Pembangunan di Halmahera Barat.

Saat ini Pemerintah Halmahera Barat sedang mendorong PT GEODIPA ENERGY agar bercokol di tanah Jiko Makolano dan mengelola hasil alam berupa Panas Bumi diwilayah Desa Idamdehe dan sekitarnya merupakan representasi dari kemunduran berpikir Pemerintah. Sebab Halmahera Barat memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah bukan hanya pada panas bumi.

Disisi lain penulis meyakini ada tiga aspek dalam mendongkrak pertumbuhan perekonomian daerah serta menepis angka kemiskinan masyarakat. Yakni; Perikanan, Pertanian dan Industri Pertambangan. Pola pikir Pemerintah dewasa ini terlalu terfokus pada perusahaan, sehingga melupakan dua aspek yang sangat penting dalam mendongkrak perekonomian daerah.

Hari ini jikalau amanat negara yang tertuang dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang katanya menjamin kesejahteraan rakyat, maka hari ini pula masyarakat Desa Sagea Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah tidak berteriak menjerit akibat pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) yang sangat berdampak negatif terhadap keberlangsungan hidup masyarakat setempat.

Namun realitas yang terjadi adalah ketertindasan dan ketimpangan sosial yang dilakukan oleh sekolompok oligarki melalui Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah sehingga memicu keberlangsungan hidup masyarakat Desa Sagea.

Situasi dan kondisi yang terjadi di Desa Sagea juga akan dirasakan oleh Masyarakat Jailolo pada umumnya dan masyarakat Idamdehe khusunya. Apabila PT Geodipa Energy hadir dengan mengatasnamakan perusahaan ramah lingkungan, memutus mata rantai pengangguran serta menurunkan angka kemiskinan, maka itu hanyalah manipulasi ataupun bahkan bentuk pembohongan yang objektif.

Disisi lain, masuknya PT Geodipa nanti akan mempengaruhi pada aspek Pendidikan. Sebab dengan masuknya perusahaan swasta ini akan memutus jiwa regenerasi yang sepasca mengenyam pendidikan SMA tidak lagi melanjutkan studi di dunia Perguruan Tinggi.

Apabila Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat hanya terfokus pada sektor industri pertambangan, maka secara tidak langsung sektor perikanan dan pertanian akan tetap diabaikan. Padahal potensi sumber daya alam Halmahera Barat pada kedua sektor ini sangat melimpah dan dapat dikatakan akan membantu dalam pertumbuhan perekonomian daerah serta mengikis mata rantai angka kemiskinan masyarakat Halmahera Barat.

Sebelum penulis mengakhiri alarm pengingat ini terhadap Pemerintah Halmahera Barat, penulis memanjatkan do’a dan berharap ridho dari Tuhan Yang Maha Esa agar melimpahkan kesehatan dan kesempatan kepada Bapak James Uang selaku Bupati Halmahera Barat, agar dapat mempertanggungjawabkan program kerja sebelum mengakhir masa jabatannya.

Terakhir, semoga catatan ini bermanfaat dalam membentuk pola pikir Pemerintah Halmahera Barat agar lebih progres dan JUJUR dalam membangun daerah yang lebih baik lagi. Akhir kata, Mendengarlah dengan telinga toleran, Melihatlah dengan mata belas kasih, dan berbicaralah dengan bahasa cinta. Sebab jika cinta sudah dibuang maka jangan harap keadilan akan datang.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prodi Ilmu Kelautan