Oleh: Prayogo Ahmad Zaidi

Lebih kurang sembilan tahun lahirnya UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, dianggap cukup berhasil mendongkrak perekonomian masyarakat Desa. Lahirnya UU Desa memberikan kepastian hukum kepada masyarakat Desa, yang tujuannya untuk meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa, guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan Nasioanal, memajukan perekonomian masyarakat Desa, serta mengatasi kesenjangan pembangunan Nasional, dan memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Desa sendiri menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah “sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Keunikan dan dinamika Desa terus menjadi warna tersendiri didalam sistem pemerintahan republik indonesia. Baru-baru ini, topik yang sedang ramai di perbincangkan terkait dengan Proses revisi UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa banyak menuai polemik seta mengundang pro dan kontra dikalangan elit politik, para ahli serta masyarakat bawah.

Saat ini proses revisi UU Desa terus bergulir, rapat paripurna DPR ke-29 masa sidang V tahun 2022-2023 resmi mengesahkan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014. Pengesahan RUU Desa menjadi usul inisiatif DPR yang merupakan lanjutan dari rapat panja di Badan legislasi DPR.

Dari beberapa poin yang menjadi sorotan di antaranya; penambahan hak kades. sebelumnya disebutkan, “kades hanya menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainya yang sah serta menerima jaminan kesehatan.” sesuai pasal 26 ayat (3) huruf C. Dalam draf RUU terbaru “Kades menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainya yang sah, mendapat jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenaga kerjaan, serta mendapat tunjangan purna tugas satu kali di ahir masa jabatan.”

Selain itu perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari Enam menjadi sembilan tahun. Merubah pasal 39 ayat (1) “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam ) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.” di ayat (2) “Kepala desa sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”.

Hal ini yang menjadi perbincangan hangat disemua kalangan, bahkan ada beberapa kalangan yang menuding bahwa revisi UU Desa sebagai transaksi politik antara elit politik dan para kepala Desa.

Akan tetapi jika dilihat dari sisi peraturan, saya menilai apa yang dilakukan DPR adalah hal yang normatif, karna revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 menjadi kumulatif terbuka akibat putusan mahkamah konstitusi No.15/PUU-XXI/2023. Hal ini telah sejalan lurus sesuai dengan pasal 23 UU No.12 tahun 2011 yang telah di ubah menjadi UU No.15 tahun 2019 dan perubahan kedua menjadi UU No.13 tahun 2022 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Namun harusnya DPR dapat mempertimbangkan ayat setelahnya, bahwa DPR atau presiden hanya dapat mengajukan RUU di luar prolegnas apabila, untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam, serta keadaan tertentu lainya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang.

Kemudian hal inilah yang banyak memunculkan banyaknya presepsi di masyarakat. akan tetapi kembali kepada bagaimana dan dari sudut pandang mana kita menilai.

Terkait dengan Pasal 39 UU No.6 tahun 2014 tentang perpanjangan masa jabatan Kepala Desa, mungkin sebagian para kepala Desa yang saat ini mejabat berpandangan “ bahwa masa jabatanya akan diperpajang tiga tahun setelah revisi UU Desa di undangkan”.

Namun harapan ini akan menjadi sulit karna UU tidak akan berlaku surut. Tegasnya revisi UU Desa hanya menambah masa jabatan kepala Desa didalam klausul pasal bukan memperpanjang jabatan Kepala Desa yang saat ini menjabat. Bahkan, bagi para Kepala Desa yang saat ini sedang menjalani masa jabatan periode kedua, apabila revisi UU Desa ditetapkan di tahun 2024, maka setelah habis masa bhaktinya, tentu sudah tidak diperbolehkan kembali untuk mengikuti kontestasi pilkades.

Poin selanjutnya yang cukup menguntungkan bagi masyarakat Desa yaitu, penambahan alokasi dana Desa yang diatur besaranya 20 persen yang berasal dari dana transfer daerah. Kisaran nilainya tentu berpariasi tergantung pada luas wialayah, dan jumlah penduduk masyarakat Desa. Penambahan ini tentunya diharapkan dapat mebuat Desa menjadi mandiri apabila tata kelola pemerintahan Desa nya baik, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengoperasionalanya sejalan lurus dengan anggaran yang diterima serta disesuai dengan kebutuhan masyarakat Desa.*

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Studi MIA Konsentrasi Kebijakan Publik Unis Tangerang