UU Nomor 12 Tahun 2011 Mau Direvisi, Intrik Jahat Muluskan UU Ciker, laporan Reza Satriadi, Jurnalis Portal Desa Kalimantan Barat

Jakarta, PORDES – Mahkamah Kontitusi (MK) telah memerintahkan Pemerintah dan DPR RI merevisi UU Cipta Kerja selambat-lambatnya 2 tahun sejak putusan MK diucapkan karena bertentangan dengan UUD 45.

“Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan’,” demikian Putusan MK yang dibacakan pada Kamis, 25 November 2021 lalu.

MK memerintah kepada Presiden dan DPR memperbaiki UU pembentukannya melalui metode omnibus law (mengubah, menghapus dan menambah pasal-pasal atau norma dari 78 UU dalam 1 UU), sekaligus memperbaiki materi/pasal-pasal/norma yang dipersoalkan buruh.

Namun baru-baru ini muncul isu tak sedap berkaitan dengan tudingan bahwa ada intrik untuk merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) yang menjadi batu sandungan bagi mulusnya UU Cipta Kerja.

Isu ini muncul setelah pada Selasa (8/2/2022), Badan Legislasi DPR RI menyetujui melakukan Revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 atau RUU PPP.

Tujuan revisi UU PPP ini salah satunya untuk mengakomodasi metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Namun, dari 9 fraksi DPR, hanya fraksi PKS yang menolak.

Anggota DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mengatakan, alasan partainya menolak, karena perlu waktu untuk membahas lebih lanjut.

“Fraksi PKS menyatakan menolak, karena masih minimnya pembahasan di baleg yang baru melaksanakan 3 kali rapat dalam rangka penyusunan rancangan UU tersebut,” ungkap Bukhori Yusuf.

Selain itu, Fraksi PKS juga memberikan catatan kritis terhadap rancangan perubahan kedua atas perubahan UU nomor 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI.

Menurutnya, metode yang digunakan omnibus law harus mereformasi proses pembentukan perundang-undangan agar nantinya berkualitas, untuk menyelesaikan masalah yang tumpang tindih.

“PKS menegaskan metode apapun yang digunakan pembentuk UU harus bertujuan untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundangan-undangan agar lebih berkualitas dan memihak pada semua kepentingan,” tandasnya.

Intrik Jahat Muluskan UU Cipta Kerja

Trisnur Priyanto Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Garmen Kerajinan Tekstil Kulit dan Sentra Industri dan Sentra Industri (DPP FSB GARTEKS) menilai melakukan revisi RUU PPP merupakan intrik politik dalam memuluskan kepentingan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.

Sebab, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Dia menilai revisi RUU PPP ini sarat kepentingan politik dengan revisi UU Cipta Kerja. Agar nantinya, proses perbaikan yang diberikan Hakim MK selama 2 tahun, terutama syarat formilnya bisa terpenuhi.

“Jadi dibalik semua ini kalau saya nilai ada skenario intrik jahat antara penguasa dan DPR untuk memuluskan kepentingan perbaikan UU Cipta Kerja yang sedang bermasalah,” ucap Trisnur seperti dilansir dari FSBGARTEKS.org, Senin (14/2/2022).

Padahal, kata Trisnur, sejak awal pembuatan UU Cipta Kerja, pemerintah telah menyalahi aturan, sebab tidak mengikuti prosedur UU RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena pada saat proses pembuatannya tidak melibatkan stake holder, penyusunannya tidak transparan, tidak ada naskah akademik dan tidak jelas siapa yang mengusulkan undang-undang tersebut.

Jadi tidak heran, ketika pembuatan UU Cipta Kerja tidak transparan, serikat buruh menolaknya. Sebab tidak ada dampak baiknya pada kesejahteraan buruh. Justru sebaliknya, mengalami kemunduran karena beberapa pasal dalam undang-undang ini mendegradasi hak buruh di dunia kerja.

“Nah, kalau dibalik agenda revisi RUU PPP ini nantinya untuk memuluskan revisi UU Cipta Kerja, maka nasib buruh Indonesia kedepannya semakin suram. UU Cipta Kerja pastinya akan menjadi konstitusional dan tidak bermasalah lagi,” ungkapnya,

Ia menganalisa, kemungkinan DPR nantinya lebih memprioritaskan dahulu revisi RUU PPP. Setelah selesai, maka pemerintah dan DPR akan memasukan agenda revisi UU Cipta Kerja.

Karena itu, Trisnur mengatakan, pemerintah dalam persoalan ini sebenarnya sudah salah. Tapi penguasa tidak mau kehilangan muka, justru menunjukan sikap egois.

“Seharusnya kalau sudah bersalah, pemerintah harus berani bersikap dewasa untuk mengakui kesalahannya. Lalu mengajak duduk bersama perwakilan serikat buruh untuk memperbaiki materi formil UU Cipta Kerja,” terangnya.
Dia menegaskan tujuan dibuatnya UU Cipta Kerja hanya lebih memprioritaskan kepentingan investor dari pada kesejahteraan buruh.

Trisnur mengaku tidak pernah anti dengan investor, tapi, kalau undang-undang dibuat hanya menguntungkan sepihak, maka serikat buruh tegas menolaknya, karena tidak sesuai dengan semangat ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Terakhir, Trisnur menyampaikan seharusnya para pemimpin federasi dan konfederasi buruh di Indonesia bisa duduk bersama menyikapi revisi RUU PPP dan UU Cipta Kerja yang segera dibahas DPR.

“Harus mendesak DPR agar serikat Buruh dilibatkan untuk proses revisi 2 undang-undang ini,” tutupnya.

Editor: Andrey Andresta  Sumber: kantorberitaburuh.com