ASN Dalam Pusaran Pilkada: Dilema Antara Mengabdi atau Mengamankan Posisi
ASN Dalam Pusaran Pilkada: Dilema Antara Mengabdi atau Mengamankan Posisi
Oleh: Rhomi Ramdani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam)
Tak bisa dipungkiri bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) pada masa pemilihan kepala daerah (Pilkada) berada dalam posisi sulit. Pilihan mengabdi atau mengikuti arus Pilkada untuk condong kepada salah satu pasangan calon Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi dilema sendiri bagi mereka.
Pada masa ini, lingkungan kerja, tekanan, dan rayuan serta iming-iming untuk menduduki jabatan yang lebih nyaman atau setidaknya aman dari ‘gangguan’ saat menjabat menjadi godaan yang sulit dihindari bagi para ASN.
Terkait dengan Pilkada, keterlibatan ASN sebenarnya sudah dibatasi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam aturan ini, ASN ditekankan untuk bersikap netral, berintegritas, profesional, dan bebas dari intervensi politik, serta mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Meski demikian, pada praktik di lapangan, Undang-Undang hanyalah sebuah aturan tertulis yang tak memiliki arti. Jauh panggang dari api, ASN tampaknya memilih larut dalam arus politik dan mengesampingkan sikap netral. Banyak dari mereka turut berpihak kepada salah satu calon dan turun berkampanye ataupun mengarahkan pilihan serta membentuk simpul suara di tingkat kelurahan/desa, meski keterlibatannya terlihat samar-samar.
Dalam catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sejak awal tahun hingga per 28 Mei 2024, sedikitnya ada 41 laporan pengaduan terkait pelanggaran nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku (NKK) dan 266 laporan mengenai netralitas oleh ASN. Angka ini diperkirakan akan jauh meningkat seiring berjalannya pelaksanaan tahapan Pilkada hingga 27 November mendatang.
Fenomena tersebut merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa pelanggaran dan mobilisasi ASN terjadi saat pemilu. Praktik mobilisasi umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki kesamaan visi dengan calon pemimpin daerah. Dalam hal ini, persekongkolan untuk meraih kursi pimpinan daerah antara ASN dan calon pemimpin daerah benar-benar terjadi.
ASN Dalam Pusaran Pilkada
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, regulasi yang membatasi keterlibatan ASN dalam Pilkada nyatanya tak memberikan dampak berarti. Wewenang Gubernur/Bupati/Wali Kota terpilih untuk melakukan bongkar pasang jabatan struktural ASN di bawahnya membuat, mesti tak semua, ASN mau tidak mau harus terlibat dalam pusaran Pilkada, di samping iming-iming jabatan dan ‘keamanan’ ketika menempati posisi tertentu.
Tentu hal tersebut bukan menjadi alasan pembenaran atas ketidaknetralan mereka dalam Pilkada. Sikap netral sendiri diartikan sebagai sikap yang tidak memihak atau bebas. Dalam hal politik, netral dimaknai sebagai perilaku adil, obyektif, tidak bias, bebas pengaruh, bebas intervensi, bebas dari konflik kepentingan, dan tidak berpihak pada siapapun.
Mengambil sikap netral sangat penting untuk menjaga iklim Pilkada yang bebas, rahasia, jujur, dan adil serta demokratis. Terlebih sebagai aparatur pemerintah, ASN ditekankan fokus untuk memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada masyarakat dan bukan malah larut dalam pusaran Pilkada.
Meski demikian, dalam masalah yang sepertinya sudah menjadi persoalan sistemik ini, netralitas hanya tinggal slogan tanpa aksi. Butuh keseriusan untuk melakukan pengawasan dan pemberian sanksi tegas bagi pelanggar netralitas. Demikian juga perlunya dilakukan pembenahan sistem pengangkatan dan pengelolaan jenjang karir ASN, sehingga tidak ada lagi ASN yang melakukan manuver demi mendapatkan, menjaga jabatan atau tersandra dengan kepentingan politik.